Thank you for visiting this blog. Please don't hesitate to contact us if you find error/s. We would appreciate your comment to improve your experience in this blog.


090131P - TAJDID DALAM KEDOKTERAN ISLAM DAN PENERAPANNYA PADA UNIVERSITAS ISLAM: Terhadap Definisi Kedokteran Islam Dan Klarifikasi Konsep Serta Kesalahpahaman[1]

Dipresentasikan pada pada seminar yang diadakan pada hari Sabtu siang, tanggal 31 Januari 2009 di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP) dan Rumah Sakit Pengajaran Khodijah bersama Profesor Dr. Omar Hasan Kasule Sr. MB Chb ( MUK), MPH ( Harvard), Drph ( Harvard) Profesor Epidemiologi dan Universiti Kedokteran Islam Brunei Darussalam dan kunjungan Profesor Epidemiologi Malaya Universiti. EM omarkasule@yahoo.com WEB: http://omarkasule.tripod.com


ABSTRAK
Perspektif, definisi, atau pemahaman berikut mengenai Kedokteran Islam atau perwujudan praktisnya yang ditinjau secara kritis dan disimpulkan bahwa tak satupun yang dapat berdiri sendiri. Yang disebut “Kedokteran Islam”: ( a) Thibb Al Qur’an ( b) Thibb Nabawi ( c) Pengobatan pada masa awal Negara Muslim ( d) Pengobatan Tradisional Masyarakat Muslim Modern ( e) ijtihad pada masalah etis, legal dan moral pada pengobatan ( f) Kode etik dokter ( g) Mukjizat medis dan ilmiah Kitab suci Al Al Qur’an ( h) Pengobatan Alternatif ( i) Penyediaan jasa untuk kaum fakir miskin ( j) Dukungan atau lobi untuk orang kurang mampu ( k) Penghapusan penyebab penyakit sosial ( l) Dasar dan Riset terapan. Kebingungan semantik antara kata sifat ' Islam' Dan ' Muslim' diterangkan. ' Islam' mengacu pada nilai-nilai, gagasan, memandu prinsip, dan aplikasi Al Qur’an dan 'Muslim' mengacu pada orang-orang mengaku sebagai Orang Islam seperti pada aktivitas dan institusi mereka. Mungkin saja mereka tidak mengikuti seluruh ajaran Islam. Meskipun demikian, pengobatan Islam idealnya tidak sama dengan pengobatan pada Masyarakat Islam, yang merupakan pengalaman sejarah atau masa kini yang nyata. Pengobatan Islam digambarkan sebagai pengobatan yang paradigma dasar, konsep, nilai-nilai, dan prosedurnya sesuai dan tidak menyimpang dari Al Al Qur’an dan As Sunnah. Ini bukanlah prosedur pengobatan khusus atau agen terapis yang digunakan pada tempat tertentu atau waktu tertentu. Pengobatan Islam adalah universal, mencakup keseluruhan, fleksibel, tumbuh dan berkembang pada metode penelitian yang bervariasi dan memperlakukan penyakit dalam kerangka kerja yang telah disebutkan di atas. Definisi ini memerlukan perubahan dasar pada sistem pengobatan. Pengobatan Islami merupakan hasil dari tinjauan Islami dan formulasi ulang pada paradigma dasar, metodologi penelitian, pengajaran, dan praktik pengobatan. Proses perubahan konsepsual ini, yang disebut juga Islamisasi pengobatan, disebutkan secara detil pada tulisan ini. Hasil akhir proses Islamisasi tidak akan menjadi sistem pengobatan, terapi, atau prosedur bagi Muslim saja tapi juga untuk keseluruhan umat manusia karena Islam merupakan satu set nilai-nilai universal dan objektif. Islamisasi bukanlah pengobatan teologis, lokalisasi, atau yang berpikiran sempit, namun sangat sesuai dengan kemanusiaan. Proses Islamisasi meliputi seluruh sistem pengobatan. Prioritasnya pada pengobatan barat karena dominasinya. Kita harus memulai dengan memeriksa secara kritis dan membentuk ulang metodologi penelitian. Pengetahuan berasal dari penelitian dan seharusnya kita dalam proses membuat dan bukan hanya mengkonsumsi pengetahuan. Metodologi penelitian baru yang dibuat ulang akan dibangun menggunakan pedoman Quran pada (a) objektifitas (istiqamah) (b) kesamaan (tidak ada hawa dan adam) (c) haqq (kebenaran) (d) pendangan suci pada alam semesta, keharmonisan, dan keseimbangan (tauhid) (e) mencari hubungan sebab-akibat (sunah Allah fi al kawn wa al insan ) (f) kegunaan ('ilm nafi ), dan (g) mengejar kesempurnaan (ihsan). Tugas selanjutnya adalah membentuk ulang nilai-nilai, etika dan sikap terhadap pelatihan dan praktik pengobatan.

KATA KUNCI: KEDOKTERAN / PENGOBATAN ISLAM, ISLAMISASI ILMU KEDOKTERAN / PENGOBATAN

1.0  Tujuan Penulisan
Tulisan ini secara kritis meninjau perbedaan perspektif, konsep, definisi, atau pemahaman Kedokteran Islami dan menyimpulkan konsep umum dan definisi operasional yang dapat memberikan panduan bagi pekerjaan dokter Muslim yang tertarik.

2.0  Latar Belakang
Konsep Ilmu Kedokteran Islam telah dimengerti untuk memaknai perbedaan pada orang yang berbeda di waktu yang berbeda. Sudah ada perkembangan tulisan kedokteran dalam perspektif Islam oleh dokter maupun bukan dokter (1-9) seperti halnya ketertarikan umum pada hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan seperti diet, gaya hidup, kebersihan, dan penyalahgunaan alkohol (10-15). Penelitian ilmiah pada pengobatan Islami telah dijalankan  Dr. El Kadhi in Florida, USA seperti halnya dokter Muslim pada Negara lain. Dimulai pada tujuh puluh konferensi konvensi internasional terakhir yang telah diselenggarakan di beberapa negara (16-18).

Kebingungan yang terbesar adalah semantik / arti kata. Kedokteran ' Islam' Dan ' Orang Islam' mengalami kerancuan. Istilah ' Islam' Dan ' Orang Islam' dapat digunakan bergantian seolah-olah mereka berarti sama ( 3). Najjar ( 19) membuat suatu usaha yang patut dipuji untuk menguraikan permasalahan dalam ilmu semantik dengan mengacu pada pengobatan pada awal Sejarah Orang Islam sebagai "Kedokteran di negara Islam" bukan  "Kedokteran Islam".

Kebingungan semantik antara kata sifat “Islam” dan “Muslim” tidak perlu terus terjadi. “Islam” berarti nilai-nilai, ide, pedoman prinsip, dan penerapan Al Al Qur’an dan As Sunnah. “Muslim” berarti orang yang mengaku sebagai muslim seperti halnya pada kegiatan dan institusi mereka. Mereka mungkin tidak secara penuh menerapkan ajaran Islam. Oleh karena itu pengobatan Islam tidak sama dengan pengobatan Muslim, yang secara aktual bersifat historis atau nyata pada Masyarakat Orang Islam zaman sekarang.(9). Kebingungan yang berlanjut  di dalam pikiran dari banyak Dokter Muslim tentang apa yang  mendasari Kedokteran Islam memerlukan usaha pendefinisian ulang dan konseptualisasi Kedokteran Islam.

3.0  Usaha Sebelumnya Pada Definisi Kedokteran Islam
3.1 Definisi  berdasarkan kriteria dan nilai-nilai
Dr. Ahmed El Kadhi membuat tulisan pada Konferensi Kedokteran Islam Internasional Pertama di Kuwait pada Januari 1980 (2) dan mengajukan 6 kriteria pembeda pada Ilmu Kedokteran Islam. Menggunakan statistik dan pengalaman medis di Amerika Serikat, beliau mengatakan bahwa pengobatan modern barat tidak memenuhi kriteria (a) kesempurnaan dan kemajuan (b) berdasarkan etika kepercayaan dan ketuhanan (c) berpedoman dan berorientasi, sebagai contoh konsisten dan logis (d) komprehehsif, dalam memperhatikan jiwa dan raga, individu dan masyarakat (e) universal dalam penggunaan sumber yang bermanfaat dan memberikan pelayanan pada seluruh umat manusia (f) ilmiah.

Dua dari enam kriteria memerlukan penilaian ulang. Kriteria (a) sebaiknya tidak diartikan apa adanya. Kesempurnaan dan kemajuan sistem medis adalah penilaian relatif berdasarkan pengetahuan, sumber daya, dan kebutuhan pada tempat tertentu. Sistem medis diperbaiki secara berkelanjutan membuatnya mustahil untuk menggolongkannya pada titik tertentu pada saat ini sebagai kesempurnaan. Kriteria (e) mengenai pengobatan yang ilmiah lebih baik didefinisikan menjadi  “berdasarkan penelitian yang objektif yang menggunakan seluruh sumber pengetahuan yang tersedia termasuk penyingkapan rahasia”. Istilah “ilmiah” dan “metode ilmiah” telah disalahgunakan karena secara objektif mewakili ketika dalam praktiknya kita tahu bahwa banyak pembiasan terbangun pada penelitian medis akhir-akhir ini yang mencerminkan opini, filosofi, dan pandangan masyarakat dunia secara subjektif seperti halnya penipuan dan ketidakmampuan.

3.2  Definisi Hanya Berdasarkan Nilai-Nilai
Penggunaan nilai-nilai dan etika untuk mendefinisikan karakteristik dipandang sebagai kemajuan dalam pendefinisian Kedokteran Islam dengan menggunakan kriteria operasional karena kriteria itu sulit untuk mengukur dan membandingkan sistem pengobatan yang berbeda-beda. Dr. Kasule, dalam tulisan yang dipresentasikan di Konferensi Islam Internasional Pertama di Kuwait (9) mengatakan bahwa ilmu kedokteran islam dapat didefinisikan sebagai nilai-nilai dan etika dan tidak sebagai prosedur pengobatan yang spesifik sebagai konsep yang menyeluruh atau agen terapis. Definisi ini mengijinkan ilmu kedokteran Islam menjadi konsep universal yang menyeluruh, yang tidak memiliki karakter pada ruang waktu khusus atau tertentu. Sebuah definisi yang berdasarkan pada nilai-nilai bagaimanapun juga terlalu umum untuk dimanfaatkan secara operasional. Nilai-nilai dapat menjadi subjektif atau sulit didefinisikan dengan tepat.

3.3  Kesimpulan
Pemaparan di atas menjelaskan akan adanya kebutuhan definisi yang jelas. Pada tulisan ini 11 pandangan tentang pengertian Kedokteran Islam atau manifestasi praktisnya ditelaah secara kritis dan sebuah sintesa dibuat di bagian akhir dengan rancangan definisi baru.

4.0  THIBB AL QUR’ANI
4.1 Referensi Medis Di Dalam Al Al Qur’an
Quran dan Sunnah banyak memiliki pengajaran medis yang telah dirujuk oleh beberapa penulis sebagai pengobatan Islami. Thibb Al Qur’ani merujuk pada ayat-ayat Al Qur’an yang berhubungan dengan penyakit pada tubuh dan pikiran dan perawatannya. Al Qur’an berbicara tentang kesehatan fisik (20) dan mental/ penyakit hati (21). Kesembuhan penyakit pada akhirnya adalah dari Allah (22). Al Qur’an sendiri adalah obat. (23). Al Qur’an berisi doa-doa kesembuhan dan juga petunjuk terapi khusus seperti madu (24), memakan hanya makanan yang halal dan menghindari makanan haram yang tidak sehat (25) dan tidak makan berlebihan.

4.2  Penjelasan Ilmiah Tentang Ayat-ayat Al Qur’ani
Banyak yang telah menulis mengenai ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits yang berhubungan dengan pengobatan (27,28,29). Usaha telah dijalankan untuk memberikan penjelasan ilmiah mengenai ayat-ayat Al Qur’an yang berhubungan dengan pengobatan. Sebagai contoh: penyakit menular, alkohol, ciptaan manusia, dan keuntungan medis dari puasa. Usaha telah dijalankan untuk membangun nilai medis dari tumbuh-tumbuhan, disebutkan di dalam Al Qur’an sebagai makanan bukan sebagai obat. Secara umum tulisan-tulisan ini tidak memiliki kekakuan ilmiah atau akurasi dan menambah kebingungan dibanding kejelasan. Pendekatan ini dapat menyesatkan beberapa orang untuk berpikir bahwa mereka mengetahui alasan sebenarnya dibalik perintah-perintah Al Qur’an tertentu. Jika tidak disebutkan secara jelas di dalam Al Qur’an atau oleh sunnah yang asli, tentu kita tidak akan tahu alasan-alasan dibalik perintah-perintah Al Qur’an yang sebenarnya. Yang dapat kita lakukan adalah melakukan penelitian dan ber-ijtihaj, kita bisa benar dan bisa salah. Kita harus menyadari bahwa kita mungkin tidak akan mampu meraih kebenaran seluruhnya dan penjelasan ilmiah yang kita ajukan bisa saja salah atau mungkin hanya sebagian dari sebuah penjelasan.


4.3  Kesimpulan
Al Qur’an bukanlah buku teks pengobatan, tetapi merupakan panduan moral. Al Qur’an berisi informasi dan panduan dasar pada hal-hal medis yang memberikan kesempatan bagi manusia untuk membuat penelitian dan membuat keterangan detilnya. Membatasi pengobatan hanya terhadap ajaran di dalam Al Qur’an dapat membuat pengajaran dan praktik ilmiah pengobatan menjadi sangat terbatas karena Al Qur’an sangat selektif di dalam lingkup detail yang memberikan kesempatan bagi manusia untuk menelitinya, mencarinya dan memahami tanda-tanda Allah di bumi.

5.0  THIBBUN NABAWI
5.1 Definisi Thibbun Nabawi
Thibbun Nabawi dapat diartikan sebagai perkataan atau perbuatan Nabi SAW mengenai pengobatan. Nabi SAW menerima dan memberi perawatan medis dan mendorong orang lain melakukan hal yang sama. Kami menganggap bahwa perawatan yang dilakukan kepada oleh Nabi maupun yang dilakukan di hadapan beliau tergolong dalam  Thibbun al Nabawi. Thibbun al Nabawi adalah sistem pengobatan independen yang lengkap. Itu adalah benar dan berguna (30). Thibbun al Nabawi mencakup pengobatan pencegahan dan penyembuhan, pikiran dan tubuh, jiwa dan materi, dan perawatan medis dan pembedahan (27-32).

5.2  Sumber Thibbun Nabawi
Bukhari di dalam Sahih-nya menceritakan 129 hadits yang secara langsung berhubungan dengan pengobatan (33). Masih terdapat banyak hadits yang secara tidak langsung berhubungan dengan pengobatan. Di dalam bukunya Al Thibbun al Nabawi, Imam ibn al Qayyim al Jauziyyah menyebutkan banyak kondisi medis yang panduannya diberikan oleh nabi (34,35). Jalaluddin al Suyuti menerbitkan buku Thibbun Nabawi dan membagi pengobatan menjadi 3 jenis: tradisional, spiritual, dan pencegahan (36). Al Habba al Saudaa direkomendasikan oleh Nabi SAW sebagai perawatan umum dan telah dipelajari secara ekstensif (37). Dr. El Kadhi telah menghubungkan pembelajaran ilmiah dan efek kekebalan yang telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah terkemuka di Amerika Serikat (38). Nabi SAW bersabda bahwa prinsip dasar di dalam pengobatan yaitu untuk tiap-tiap penyakit pasti ada obatnya (39). Hal ini adalah pendorong bagi kita untuk menemukan obat; mencari pengobatan yang tidak melawan Qadar (ketentuan yang telah ditetapkan). 

5.3  Penggunaan Thibbun Nabawi di Zaman Sekarang
Apapun yang dikatakan atau lakukan Nabi SAW adalah benar dan harus diikuti karena beliau tidak pernah berkata bohong meskipun sedang bercanda. Usaha untuk membedakan antara ajaran pengobatan sebagai utusan dan ajarannya sebagai manusia di Arab pada zaman sejarah tertentu adalah tidak mudah. Perbedaannya jelas ada, namun jika mempelajarinya maka hal tersebut akan menghasilkan sesuatu yang tidak praktis. Pertanyaannya adalah apakah seluruh atau hanya beberapa Thibbun  Nabawi saja yang sebaiknya digunakan saat ini. Jika penelitian dan lingkungan sekitar penyakit adalah sama pada zaman Nabi SAW maka tidak ada keraguan bahwa Thibbun Nabawi sebaiknya digunakan. Pada kenyataannya sulit untuk mengetahui bahwa kondisi sekarang ini sama. Perubahan dalam pathologi penyakit, kelompok genetik pasien dan tanaman medis, cuaca dan iklim sangatlah bervariasi yang memerlukan pengobatan tertentu, yang disarankan nabi tidaklah memadai untuk kondisi medis saat ini dengan nama yang sama. Menggunakan Thibbun Nabawi yang mencukupi pada masa lampau pada kondisi saat ini yang berbeda adalah seperti menggunakan obat yang tepat untuk penyakit yang salah.

5.4  Thibbun Nabawi : Pencegahan, Pemeliharaan Kesehatan, Dan Aspek-Aspek Spiritual
Banyak dari Thibbun Nabawi yang merupakan pengobatan pencegahan dan pemeliharaan kesehatan. Al Suyuti (36) mendaftar pengukuran pengobatan pencegahan seperti makanan dan latihan di bukunya mengenai Tib Nabawi. Al Fanjari (40) mendaftar ayat-ayat Al Qur’an dan sunnah yang menunjukkan hubungan antara Islam dan lingkungan, wabah penyakit, nutrisi, kesehatan mental, dan kebersihan seksuil. Studi Tib Nabawi menyingkap bahwa terdapat akpek spiritual untuk penyembuhan dan pemulihan. Sembahyang, doa, pembacaan Al Qur’an dan mengingat-ingat nama Allah memiliki peran penting. Penyakit psikosomatis dapat merespon pendekatan spiritual seperti shalat dan sembahyang. Shalat menyembuhkan penyakit-penyakit ringan di dalam tubuh (36).

5.5   Kesimpulan
Thibbun Nabawi seperti yang telah dilaporkan kepada kita tidak mencakup tiap-tiap penyakit yang dipahami pada zaman Nabi SAW, tidak akan mampu mencakup seluruh penyakit saat ini dan yang akan datang di berbagai belahan bumi yang beraneka ragam. Hal ini mudah untuk dimengerti berdasarkan konsep bahwa meskipun Nabi SAW mempraktikkan pengobatan, misi utamanya bukanlah mengajar pengobatan dan beliau bukanlah dokter.

6.0  Pengobatan Pada Masa Awal Negara Muslim
6.1 Kontribusi Muslim dalam Dunia Kedokteran
Banyak yang telah ditulis mengenai kontribusi Muslim dalam dunia kedoktern (1,3,44-52). Beberapa kebanggaan dapat dibenarkan. Beberapa hanya dibesar-besarkan dan bermutu rendah. Kita mencoba memberitahu kepada dunia bahwa meskipun situasi kita saat ini buruk, kita pernah berjaya dan kitalah yang mengajarkan pengobatan kepada Eropa. Beberapa klaim mengenai prestasi kaum Muslim dalam dunia kedokteran adalah benar dan dapat dibuktikan sebagaimana yang lain tidak dapat dibenarkan. Kebenaran bahwa Ibnu Sina adalah dokter hebat yang pengaruhnya meliputi seluruh penjuru dunia memang tidak diragukan lagi, namun klaim bahwa Al-Zahrawi adalah dokter bedah pertama di dunia (49) hanyalah sesuatu yang dibesar-besarkan. 

6.2  Tahap-tahap Perkembangan Kedokteran Muslim
Kedokteran Muslim pada awalnya melewati 3 tahapan. Tahap pertama, berakhir pada abad ke 7 dan ke 9 Sebelum Masehi, merupakan periode terjemahan sumber-sumber luar negeri seperti Yunani, Syiria, Hindi dan Persia ke dalam bahasa Arab. Beberapa pengobatan tradisional Arab dipadukan ke dalam sistem yang baru (54). Tahap kedua, abad ke 9 – 13 Masehi, merupakan periode awal penelitian untuk menambah dan memperkaya bahan-bahan yang diterjemahkan. Rumah sakit dan sekolah medis dibangun, prosedur pengobatan diperbaiki, dan dokter diberikan izin untuk meyakinkan bahwa mereka memiliki keahlian dan pengetahuan yang cukup. Dr. Jajal Musa (54) mendeskripsikan metodologi penelitian yang disebut pengobatan Arab sebagai pengamatan empiris berdasarkan studi yang mendetail dari 2 perwakilan dokter: Ibn Sina dan Al Razi. Tahap ketiga, setelah abad ke 13, dibuktikan dengan penolakan pada ilmu pengetahuan secara umum. Pengetahuan medis yang dikenal Muslim tidaklah hilang; namun berpindah ke Eropa sebagai pelopor pengobatan modern barat.

Beberapa faktor yang berkontribusi pada pertumbuhan kedokteran muslim adalah: (a) pendorong dan momentum penyelidikan dan penjelajahan ilmiah dari zaman keemasan Nabi SAW dan Khulafaur Rasyidin (b) Pax Islamica yang meliputi berbagai kerajaan multinasional dengan stabilitas yang relatif; mengijinkan kebebasan gerak dan pertukaran gagasan secara luas (c) penguasa yang memberikan perlindungan kepada proses pembelajaran dan penelitian.

Awal Kedokteran umat Muslim mengalami kemerosotan. Lingkungan dimana ilmu kedokteran dikembangkan telah mengalami kemerosotan secara moral dan politik. Proses kemunduran dunia kedokteran hanya tinggal menunggu waktu dan  berakhir sekitar tahun 1350 Masehi.

6.3  Hakikat Kedokteran Muslim Kuno
Tepat pada abad ke 3 biografi dokter-dokter Muslim dibuat dan kita banyak tahu tentang aktifitas dan prestasi mereka (46-48). Pada awalnya para dokter memiliki pengetahuan seperti ensiklopedi yang berkompeten pada banyak disiplin ilmu. Beberapa dari mereka bukanlah seorang Muslim; yang lain merupakan orang yang baru memeluk Islam. Banyak diantaranya dipengaruhi filosofi Yunani. Ibn Sina disebut sebagai "al maullim  al thalith" pengajar filosofi ketiga setelah Aristoteles dan Al-Farabi. Al-Razi disebut sebagai dokter-filsuf sedangkan Ibn Sina disebut filusuf-dokter (19). Beberapa merupakan Muslim yang taat seperti halnya orang lain, sebagai manusia biasa, memiliki kelemahan masing-masing. Beberapa dokter dekat dan melayani penguasa yang memimpin rezim yang tidak seluruhnya beragama Islam. Adalah salah bila kita menyamaratakan dan memperlakukan setiap dokter dan seluruh pengetahuan medis pada masa itu sebagai model kedokteran Islam.

Dapatkah praktik pengobatan di masa awal negara Islam disebut Kedokteran Islam? Masa Keemasan Dunia Kedokteran (Masa Dinasti Abbasiyah) menjadi masa paling lama setelah Masa Kejayaan Islam (Khulafaur Rasyidin). Sains kedokteran diterjemahkan dari golongan masyarakat lain dan para Muslim memberi tambahan berupa koreksi dan pengembangan.  Prinsip-prinsip Islam memiliki dampak dalam pengembangan ilmu kedokteran, tetapi belum dijadikan satu-satunya ruh pedoman. Perlu digarisbawahi bahwa Ahli Kedokteran Muslim terhebat, Ibnu Sina, belum memasukkan filosofi Islam atau dimensi etika ketika beliau mendefinisikan kedokteran sebagai ”ilmu pengetahuan tentang tubuh manusia ketika sehat dan sakit. Tujuannya adalah untuk menjaga kesehatan dan mengembalikannya ketika hilang.” (3)

6.4  Kesimpulan
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Kedokteran Muslim Kuno para leluhur yang memiliki banyak prestasi pada waktu itu adalah ‘Muslim’ dan bukan ‘Islami’. Tantangan bagi kita adalah mencetak lebih banyak prestasi pada masa kita. Mereka memiliki prestasi sendiri dan kita juga harus memiliki prestasi kita sendiri. Kita tidak bisa menyalin apa yang telah mereka lakukan dan menggunakannya pada masa kini.

7.0   Ilmu Pengobatan Tradisional pada Masyarakat Muslim Modern
7.1 Kebangkitan Ilmu Pengobatan Tradisional
Pengobatan tradisional Muslim sekarang ini, yang merupakan sisa-sisa pengobatan yang dipraktikkan pada awal negeri Muslim (56), telah dipandang sebagai pengobatan Islami. Ilmu Pengobatan Kuno dipraktikkan sebagai pengobatan tradisional atau dikenal dan disepakati sebagai pengobatan alternatif seperti pengobatan Unani (Arab) di Semenanjung Indo-Pakistan. Pemerintah India mengenal 4 sistem pengobatan tradisional: Unani,  ayurveda, siddha, dan yoga.

Usaha saat ini untuk memulihkan pengobatan tradisional Muslim adalah bagian dari pergerakan dunia yang mencoba membangkitkan ilmu pengobatan kuno. Ada beberapa alasan untuk ini: (a) Kegagalan pengobatan modern barat untuk menjangkau sebagian besar orang khususnya di daerah pedesaan (b) Kesadaran  bahwa terdapat kebaikan di dalam sistem tradisional (c) meningkatnya pernyataan negara dunia ketiga yang berhadap-hadapan dengan barat (nasionalisme budaya) (d) pengobatan tradisional memiliki keuntungan lebih manusiawi, tidak menggunakan teknologi yang tidak manusiawi, dan menganggap seorang pasien sebagai individu.  

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengadakan resolusi pada bulan Mei 1977 yang mendesak “pemerintah yang memiliki kepentingan untuk memberikan penyuluhan tentang pentingnya penggunaan sistem pengobatan tradisional mereka sebagaimana sistem kesehatan nasional mereka” (57). Negara Kuwait adalah contoh ketertarikan baru pada pengobatan Unani. Pemerintah Kuwait mengundang 2 ahli pengobatan Unani dari India untuk berkunjung ke Kuwait dan menjelajahi kemungkinan dan potensi kebangkitan sistem pengobatan Unani (Arab) di Kuwait. Kedua ahli menerbitkan sebuah laporan berisi 55 halaman dengan 18 rekomendasi diantaranya adalah: pembangunan institusi pusat penelitian dan perpustakaan pengobatan Unani, penerbitan jurnal, penanaman tanaman obat di Kuwait atau mengimpor dari India, dan membangun sekolah dan perguruan tinggi medis untuk mengajarkan sistem pengobatan itu (55).

7.2  Unani Sebagai Contoh Pengobatan Tradisional.
 Kita akan membatasi diskusi kita di sini mengenai sistem Unani (Arab) di daerah Indo-Pakistan sebagai contoh pengobatan ‘tradisional’ masyarakat Muslim. Terdapat juga sistem lain yang sejenis di seluruh dunia Muslim. Disebut Unani karena merujuk pada bahasa awalnya Yunani. Unani berasal dari bahasa Yunani, ditulis dan dikembangkan oleh orang Muslim yang berbahasa Arab. Banyak penyakit yang diberi nama dalam bahasa Arab.

Pengobatan Unani berasal dari Yunani. Hippocrates disebut sebagai bapak dari pengobatan Unani dan pengobatan barat. Pengobatan Unani berasal dari pengetahuan pengobatan dari Mesir, Arab, India, Irak, Iran, dan China. Diperkirakan juga telah mencapai Baghdad, ibu kota kerajaan Muslim, pada abad ke 8. Banyak pekerjaan medis yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada periode 750 – 850 M. dokter Muslim menambahkan hasil penjelajahan mereka ke dalam tubuh pengetahuan. Pengobatan Unani diperkenalkan ke India oleh penduduk Arab dan Persia. Sistem pengobatan meminjam sistem Unani. Orang India tidak hanya menyalin sistem Unani; mereka menambahkan. Kualitas terapis tumbuhan India yang telah diselidiki dan yang bermanfaat, kemudian digabungkan ke dalam sistem pengobatan itu. 

Sistem Unani berdasarkan teori humoral yang dikembangkan pertama kali oleh Hippocrates. Teori tersebut, yang kemudian dianggap salah saat ini, mengatakan bahwa penyakit disebabkan perubahan atau ketidakseimbangan di dalam humor. Pengobatan Unani sangat bergantung dengan denyutan dalam tiap diagnosisnya. Menggunakan berbagai macam tumbuhan, binatang atau mineral asli. Hal ini  bersifat non-invasif dalam kebanyakan perawatan yang dilakukan. Penyakit dan kondisi penyakit diklasifikasikan atau digolongkan ke dalam sistem organ yang bersangkutan. Di India sistem tersebut telah dikembangkan dalam tingkat yang lebih canggih. Obat-obatan diresepkan atau ditulis sesuai dengan dosis dan frekuensinya. Praktisi dari Unani percaya bahwa mereka dapat membantu pengobatan ala barat untuk menyelesaikan beberapa masalahnya yang ada sekarang ini. (3)

Dua praktisi dari pengobatan Unani , Razzack and Umm Fazal (53) berpendapat bahwa, “ Sistem pengobatan Arab sama ilmiahnya dengan cabang dari ilmu pengetahuan modern lainnya…jika dengan pengetahuan pengobatan yang kami maksudkan adalah bahwa cabang ilmu pengetahuan yang menangani panyakit dan menyediakan perawatannya dalam cara yang sistematis dengan mengikuti metode yang pasti atau metode tertentu dalam penelitian eksperimentalnya, menggunakan observasi dalam prinsip-prinsip yang menyimpulkan, menguji kesimpulan deduktif dan induktif dengan eksperimen atau percobaan, menekankan pada pelayanannya mengakumulasi pengalaman selama berabad-abad ke dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.”

Dalam penurunan peradaban, konsep pengobatan Islam terkadang mengalami kemerosotan ide dan prakteknya baik karena syirik atau hal-hal yang mendekatinya: praktek perdukunan, praktek ramal meramal, penggunaan jimat-jimat, klaim atas penguasaan dan penggunaan jin-jin. Ilmu sihir, atau disebut sihr seperti yang telah disebutkan dalam Al Qur’an tetapi dalam Al Qur’an hakikat dari sihir sendiri adalah sangat jelas; bahwa sihir tidak dapat menjadi sarana pengobatan atau penyembuhan yang bermanfaat.

7.3 Kesimpulan
Telah jelas pada penjelasan sebelumnya bahwa secara Islam tidak mungkin membedakan  antara sistem Unani dari sistem pengobatan tradisional lainnya. Sistem Unani adalah sebuah sistem yang lokal dan bukan sistem Islam yang universal, hal ini dikarenakan (a) pengobatan ini tidak diketahui oleh seluruh masyarakat Islam (b) beberapa dari tumbuhan pengobatan bermanfaat yang digunakan tidak akan tumbuh di bagian lain dari Dunia Islam (c) hal ini dibatasi oleh tempat dan waktu tertentu; Islam dan pengobatan Islam harus sesuai dengan semua tempat dan masa.

8.0 IJTIHAD DALAM MASALAH PENGOBATAN YANG ETIS, LEGAL, DAN BERMORAL
Teknologi biomedis telah mengangkat banyak isu mengenai medico-legal  atau kepentingan etis (59). Dokter-dokter muslim dan para fuqaha telah bertemu untuk membahas masalah-masalah tersebut.

Seminar tentang bagaimana cara pandang Islam mengenai beberapa praktek medis, telah diselenggarakan di Kuwait, April 1978 dan di Amman pada tahun 1992-1994 dan dihadiri baik oleh fuqaha dan dokter-dokter, membahas tentang jual beli organ tubuh, operasi kosmetik atau kecantikan, penyimpanan sel telur yang disterilisasi, lamanya masa menstruasi dan kehamilan (5, 58, 60 ). Fikih Islam dari Akademi Organisasi Konferensi Islam mempunyai 6 sesi yang membahas transplantasi, usaha pertahanan hidup dalam kasus-kasus yang akut, bank susu, keluarga berencana dan pengendalian kelahiran, penggunaan organ dan jaringan janin dalam eksperimen ilmiah dan transplantasi organ (61). Masalah yang ditemui adalah bahwa para dokter dan fuqaha mempunyai latar belakang pendidikan yang berbeda-beda sehingga menyulitkan mereka untuk berkomunikasi secara efektif.

Resolusi dari medico-legal dan permasalahan etika terletak di antara ilmu kedokteran dan syariah Islam. Hal ini dianggap sah oleh dokter Islam tetapi juga tidak dapat disebut sebagai ilmu kedokteran Islami.

9.0 ETIKA KEDOKTERAN
9.1 Mengislamkan Dokter
Ada pendapat bahwa anda bisa mendapatkan pengobatan Islami dengan cara “mengislamkan” dokter terutama pada saat pelatihan. Kemudian anda percaya bahwa penelitian, karya dan prakteknya akan sejalan dengan ajaran Islam. Naqib (62) mengusulkan bahwa sebuah sistem pendidikan yang menyeluruh bagi calon dokter dimulai dari tingkat dasar sampai pada tingkat pasca kelulusan.

Pembelajaran mendalam dari pengobatan dengan refleksi menunjukkan kepada dokter penguasa tertinggi dari sebuah penciptaan dan hal ini memperdalam dan memperkuat iman (63, 9). Seorang dokter yang beriman akan lebih etis dalam penelitan dan praktek yang dikerjakannya.

Praktek medis tidak dapat sukses tanpa etika. Etika menjamin bahwa sang dokter memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang tepat, sehingga dia dapat menetapkan atau mematok harga yang masuk akal bagi pelayanan yang diberikannya, menerapkan etika yang tepat atas pasien terutamanya kepada yang berlainan jenis dan merawat pasien sesuai dengan persetujuan mereka.

9.2 Definisi Dokter
Telah ada beberapa usaha yang mencoba mendefinisikan etika medis bagi dokter Muslim sepanjang masa lampau dan modern. Al-Tabari mendeskripsikan kode Islam dari etika medis pada 970 SM yang mencakup: karakter pribadi seorang dokter, kewajiban atas pasien, masyarakat, rekan sejawat, dan atas asistennya (64). Asosiasi Pengobatan Islami Amerika Serikat dan Kanada mengadaptasi sumpah dokter Muslim pada tahun 1977 sebagai sebuah alternative dari sumpah Hippocratis. Sebuah kode Islam etika kedokteran juga telah dikeluarkan oleh Organisasi Medis Islam Internasional di Kuwait untuk membimbing para dokter Muslim dalam menjalankan tugas mereka sehari-hari.

Amine and El-Kadhi (2) mendasarkan etika medis dalam Al Qur’an “..seorang dokter harus percaya kepada Tuhan, dan dalam praktek dan ajaran Islam dalam kehidupan publik dan pribadi; berterima kasih kepada orang tuanya, guru, dan orang yang lebih tua, sederhana, sopan, baik hati, murah hati, sabar dan toleran, mengikuti jalan kebenaran, dan selalu mengharap ridha dan dukungan Tuhan. Dokter Muslim harus mengikuti pengetahuan medis masa kini, secara terus menerus mengembangkan keterampilannya; mencari bantuan kapanpun dibutuhkan dan patuh terhadap peraturan profesinya; menyadari bahwa Tuhan adalah pencipta dan pemilik dari jiwa dan raga pasiennya dan merawatnya sesuai dengan ajaran Tuhan; menyadari bahwa kehidupan diberikan kepada manusia oleh Tuhan, bahwa kehidupan manusia bermula pada saat terjadi proses pembuahan, dan bahwa hidup manusia tidak dapat diambil dengan begitu saja kecuali oleh Tuhan atau atas seijinNya; menyadari bahwa Tuhan selalu mengawasi setiap pikiran dan perbuatan; mengikuti pedoman Tuhan, bahkan ketika hal tersebut berbeda dengan tuntutan atau harapan pasien, tidak merekomendasikanmaterial yang berbahaya bagi kesehatan dan tubuh pasien, menyumbangkan bantuan yang dibutuhkan tanpa memandang kemampuan finansial atau etnis pasien, memberikan atau menawarkan saran yang dibutuhkan dengan pertimbangan bagi tubuh dan pikiran pasien; menjaga rahasia pasien; mengadopsi cara berkomunikasi yang tepat; memeriksa pasien dari yang berlainan jenis dengan kehadiran atau adanya orang ketiga kapanpun hal tersebut memungkinkan; tidak mengkritik dokter lain di depan pasien atau personil kesehatan yang lain, menolak pembayaran bagi perawatan dokter yang lain atau keluarganya; dan berupaya keras untuk selalu menerapkan prinsip-prinsip kebijaksanaan dalam semua keputusannya.”

9.3 Kesimpulan
Etika tidak dapat mengubah sistem medis. Ucapan dari Utsman bin Affan sangat relevan “Allah dapat melenyapkan sesuatu melalui seorang penguasa yakni apa yang tidak dapat dilenyapkan oleh Al Al Qur’an. Etika sendiri mungkin tidak cukup untuk mengubah kenyataan. Dokter bisa saja bagus dan etis tetapi apabila sistem yang ada tidak etis, dia akan menjadi tidak efektif. Oleh karena itu, kita tidak dapat mendefinisikan sistem medis hanya dengan etikanya saja.”

10.0 KEAJAIBAN MEDIS DAN ILMIAH DALAM KITAB SUCI AL QURAN
10.1 Studi Tentang Keajaiban Ilmiah
Lebih dari 15 tahun yang lalu, usaha-usaha telah dilakukan untuk membuktikan ‘keajaiban ilmiah’ dari Al Qur’an. Liga Dunia Muslim telah mendirikan sekretariatnya mandirinya untuk hal ini. Beberapa konferensi dan seminar internasional telah diselenggarakan. Banyak buku dan video telah diproduksi dan digunakan secara luas oleh pekerja dawa untuk mengundang orang-orang masuk ke agama Islam. Maurice Bucaille adalah salah satu penulis yang menulis tentang ilmu pengetahuan dan Al Qur’an (64). Aspek yang paling digali adalah sejauh mana ilmu medis berkaitan dengan embriologi. Bidang ini menggugah rasa ingin tahu baik penulis kuno maupun modern. Al-Suyuti (36) menulis tentang embriologi dan mereferensikan ajaran Al Qur’an ke dalamnya. Sheikh Abdul Majied al-Zindani ( 65) telah memimpin murid embriologi. Beliau berkolaborasi dengan seorang embrilogis yang terkemuka dan mempunyai beberapa pemberitaan yang berkualitas. Yang penemuan-penemuan utamanya merupakan hasil penyesuaian ayat-ayat Al Al Qur’an melalui observasi ilmiah.

10.2 Tujuan Pembelajaran
Konsep pembuktian keajaiban ilmiah Al-Al Qur’an terlihat mudah tetapi mengandung konsekuensi yang berbahaya dan kita harus memiliki persyaratan  yang kuat mengenai kelanjutannya. Pertimbangan yang sudah disampaikan untuk usaha pembuktian keajaiban ilmiah dapat disimpulkan dari epilog buku Islam yang ditulis oleh Moore and Zandini (65) tentang embriologi: “Allah memberi tanda-tanda kepada utusanNya untuk membuktikan kebenaran mereka. Hal ini diberikan dalam bentuk mukjizat yang tidak dapat diusahakan oleh manusia.. Allah telah menjaga kemurnian Al-Al Qur’an dari berbagai pengubahan dan menjadikan setiap huruf dan katanya menjadi bagian dari keajaiban kebenaran Rasul. Keajaiban ini terdiri dari pengetahuan Tuhan yang diungkap dalam Al Qur’an dan hadits. Sebagaimana pengetahuan ilmiah berkembang kita menemukan bahwa apa yang telah ditemukan telah disebutkan dalam Al Qur’an dan hadits sejak dahulu kala. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa pengetahuan yang ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW pastinya datang dari Allah, seperti yang sudah dijanjikanNya.” Oleh karena keajaiban dari Rasul yang terakhir terus diperbaharui sepanjang waktu yang berjalan. Al Qur’an telah disampaikan secara tegas dan meyakinkan, bahwa para pelajar (termasuk ilmuwan) adalah salah satu yang mengetahui bahwa ini adalah kebenaranNya (65). Ucapan dari Sang Pencipta merupakan pertolongan yang sangat besar bagi mereka yang mempelajari hasil dari penciptaanNya, karenanya pernyataan-pernyataan Al Qur’an tersebut penting untuk membimbing mereka yang mempelajari makhluk ciptaan Allah.

10.3 Perbandingan antara Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan
Kita merasa bahwa Al Qur’an adalah pertahanan dan bukti terbaik kita. Kejaiban terdapat di dalamnya dan tidak mempersyaratkan investigasi ilmiah eksternal untuk membuktikannya. Berbagai usaha untuk membandingkan Al Qur’an dan ilmu pengetahuan atau mengesampingkan Al Qur’an atas ilmu pengetahuan adalah perbandingan yang tidak seimbang. Ilmu pengetahuan itu tidak tetap. Fakta dan teori yang ada sekarang pada akhirnya terbukti salah. Ilmu penegtahuan adalah hasil usaha manusia; sedang Al Qur’an adalah hasil karya Allah. Selain kecurangan yang sengaja dan pemalsuan data penelitian, manusia dapat membuat kesalahan. Sebaliknya Al Qur’an adalah wahyu. Tak ada dusta yang dapat mendekatinya dari berbagai arah. Fakta-faktanya mutlak, objektif dan tak lekang oleh waktu maupun keadaan sekitar. Ide yang dicoba untuk membandingkan atau menghubungkan dua hal yang tidak sama, dalam pendapat kami adalah tidak tepat. Konsekuensi lain yang berbahaya dalam kegiatan ini adalah bahwa ilmu pengetahuan dapat membuktikan fakta ilmiah yang ada dalam ayat-ayat Al Qur’an. Hal ini adalah motivasi yang kuat bagi seorang non-Muslim untuk percaya kepada kebenaran Al Qur’an. Apakah ilmu pengetahuan berubah setelah beberapa penelitian lebih lanjut dan teori yang sudah ditemukan sebelumnya terbukti tidak valid? Apakah hal tersebut mempengaruhi kepercayaan individu yang bersangkutan? Akankah dia kehilangan kepercayaan pada ilmu pengetahuan?

10.4 Kesimpulan
Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa investigasi keajaiban ilmiah Al Qur’an setidaknya adalah sebuah keberanian yang dapat dipertanyakan. Sebelum hasil jangka panjangnya dimengerti, lebih disarankan untuk tidak mengkaitkannya diantara perspektif aktif  ilmu kedokteran Islam.

11.0 ILMU PENGOBATAN ALTERNATIF
Beberapa penulis memandang “ilmu kedokteran Islam” sebagai reaksi penuh atau sebagian dari penolakan atas pengobatan modern ala barat. Penulis yang lain memandangnya sebagai ilmu pengobatan alami (diet, pengobatan kuno, pengobatan Hakim, pengobatan tulang punggung, allopathy, naturopathy, naprapathy dan hemeopathy ) dari perspektif Islam dan berpendapat bahwa mereka termotivasi oleh Islam dan terapi obat alternatif memliki beberapa keterbatasan (10).

Kita tidak dapat mendefinisikan pengobatan Islami dalam sebuah penolakan reaktif. Pengobatan Islami tidak hanya sebuah alternatif atas pengobatan barat. Ini adalah sebuah payung konseptual yang dapat menaungi pengobatan barat dan jenis pengobatan lainnya jika hal tersebut memenuhi atau sesuai dengan paradigma dasar ilmu kedokteran Islam.

Sistem pengobatan alternatif tidak selamanya merefleksikan perspektif Islami. Kebanyakan darinya sebenarnya adalah pengobatan barat dan memiliki banyak kesamaan karakteristik dengan sistem pengobatan barat yang dominan.

12.0 PENYEDIAAN PELAYANAN BAGI YANG MEMBUTUHKAN
Kasule (18) dalam makalahnya yang berjudul “Islamic Medicine in Africa: New Perspectives and Challenges" (Pengobatan Islami di Afrika: Tantangan dan Pespektif Baru) mengemukakan “sebuah dimensi baru pengobatan Islami dalam relevansinya untuk menyelesaikan masalah kesehatan orang yang membutuhkan dan orang yang kurang beruntung di negara berkembang.”

Pelayanan kesehatan memenuhi salah satu maqasid as syari’ah : pemeliharaan kehidupan. Al Qur’an menekankan pentingnya kehidupan dan kasih sayang bagi sesama.

Penyediaan pelayanan hanya salah satu dari fungsi pengobatan Islami dan tidak akan disebut sebagai pengobatan Islami. Berbagai sistem pengobatan Islami maupun non-Islami, sedapat mungkin menyediakan pelayanan bagi mereka yang membutuhkan. Banyak masalah medis mereka terpecahkan dengan sarana non-medis seprti misalnya nutrisi makanan yang lebih baik, sanitasi dan hunian yang ada di bawah sistem sosial pendukung mutual Islami, nidhaam al takaful al ijtimae.
           
Oleh karenanya kita dapat menyimpulkan bahwa pelayanan sosial bukanlah sebuah karakteristik unik yang terpisah dari ilmu kedokteran Islam.

13.0 UPAYA BANTUAN  BAGI YANG MEMBUTUHKAN
Kesehatan yang buruk di tingkat global atau bahkan di tingkat lokal bukan dikarenakan oleh kurangnya sumber daya medis tetapi karena distribusi yang salah. Beberapa memiliki kelebihan sedangkan yang lain tidak memiliki akses bahkan untuk pelayanan yang belum sepenuhnya sempurna.

Kasule (18) berpendapat bahwa “..kondisi kesehatan orang yang tidak mampu di dunia ini sangat menyedihkan..partisipasi dalam usaha untuk mengubah hal ini agar menjadi lebih baik adalah relevan, kontemporer, dan peran masa depan bagi pengobatan Islami. Dengan kesatuan ilmu pengetahuan medis dan ilmiah yang ada, banyak dari masalah kesehatan dapat diselesaikan. Yang kurang adalah niat dan hasrat dari komunitas global untuk mengupayakan manfaat dari pengetahuan tersebut untuk menjangkau mereka yang membutuhkan.”

Menjamin akses untuk pelayanan adalah salah satu fungsi sistem medis Islami namun bukan sebagai sebuah karakteristik yang unik.

14.0 PENGHAPUSAN PENYEBAB SOSIAL MASALAH KESEHATAN
Modifikasi tingkah laku dan gaya hidup dapat mengeliminasi penyakit dalam jumlah besar. Malnutrisi (asupan yang berlebihan), alkohol dan ketergantungan terhadap obat-obatan, persetubuhan adalah masalah yang mendasar dari kesehatan baik secara fisik maupun mental. Islam memiliki panduan yang cukup dalam menangani masalah sosial seperti yang telah disebutkan. Penyelesaian masalah sosial bukan hanya tanggung jawab dunia kedokteran Islam.

15.0 PENELITIAN DASAR DAN TERAPAN
Ada beberapa masalah medis menimpa banyak orang yang diabaikan dalam penelitian dikarenakan tekanan politik dan ekonomi. Para penderita penyakit tidak punya keberanian untuk meminta pendanaan penelitian.

Ilmu kedokteran Islam sangat objektif dan keputusan pendanaan penelitian tidak akan rentan atas pengaruh non-ilmiah oleh kepentingan kuat tertentu.

Ilmu kedokteran Islam memberikan perhatian kepada penelitian yang terabaikan tersebut sebagai kewajiban moral. Bagaimanapun juga, penelitian tersebut dapat berfungsi sebagai pengobatan Islam tetapi bukan sebagai karakteristik yang tegas dan unik.

Penerapan prinsip Islami atas keadilan, persamaan, dalam penelitian medis tidak akan dengan sendirinya mendefinisikan pengobatan Islami tetapi akan memberi kontribusi kepadanya.

16.0 DEFINISI BARU ILMU KEDOKTERAN ISLAM
Definisi kedokteran Islam berikut ini diusulkan setelah adanya pertimbangan dan penolakan atas alternatif yang sudah dijelaskan sebelumnya. Ilmu Kedokteran Islam didefinisikan sebagai ilmu pengobatan yang paradigma dasar,konsep, nilai, dan prosedurnya sesuai dengan atau tidak berlawanan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Ini bukanlah prosedur medis yang spesifik atau agen terapis yang digunakan di tempat dan waktu tertentu. Ilmu Kedokteran Islam itu universal, fleksibel, dan memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan metode yang beragam dalam menginvestigasi dan mengobati penyakit seperti dalam batasan yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Definisi ini menggunakan konsep dasar atau transformasi filosofis dari sistem medis yang ada sekarang ini. Pengobatan Islami menjadi hasil dari kritik Islami formulasi ulang dari paradigma dasar, metodologi penelitian, pengajaran, dan praktek medis. Proses transformasi konseptual ini, juga disebut Islamisasi ilmu kedokteran, yang akan dijelaskan di bawah ini. Hasil akhir dari proses Islamisasi tidak hanya akan menjadi sistem medis bagi Muslim tetapi juga bagi seluruh umat manusia karena Islam adalah sebuah kesatuan nilai yang objektif dan universal. Islamisasi bukanlah proses theologis, lokalisasi atau pengobatan parokal tetapi menjadikannya baik untuk semuanya.

17.0 DASAR PEMIKIRAN RASIONAL DARI ISLAMISASI (FORMULASI ULANG PARADIGMA DASAR, NILAI ETIKA, DAN METODOLOGI PENELITIAN)
17.1 Berbagai Masalah Kedokteran Barat
Kedokteran barat mempunyai beberapa paradigma yang tidak dapat kita terima sebagai Muslim. Kematian ditolak sebagai fenomena natural dan sumber daya disia-siakan dalam penyakit akut. Penuaan juga tidak diterima sebagai proses natural dan penelitian-penelitian sedang dilakukan untuk membalikkan keadaan yang sebenarnya. Terdapat ketidakseimbangan dalam pemilihan perawatan. Perawatan dipilih berdasar keefektifannya tanpa mempertimbangkan bahaya lain yang dapat berpengaruh pada orang ataupun ekosistem. Beberapa perawatan yang terdahulu merupakan sebab penyakit yang sekarang. Terlalu sempitnya spesialisasi mengarah kepada kurangnya pendekatan secara keseluruhan kepada pasien. Dokter mengabaikan moral dan masalah sosial yang dapat mempengaruhi kesehatan pasien dan mengklaim bahwa tanggung jawabnya hanyalah mengenai  pelayanan kesehatan saja. Pengobatan sekuler tidak memiliki seperangkat etik yang konsisten. Malpraktek, kecurangan, kesalahan dokter menjadi semakin umum. Pencarian materi sangat dominan. Lingkungan sekuler tidak memperhatikan dimensi relijius atau spiritual dalam pengobatan. Terdapat bias dalam pemilihan, pendanaan, dan publikasi penelitian.Tekanan politik dan ekonomi yang kuat merefleksikan cara pandang dan filosofi hidup dunia Barat.

17.2 Batasan Metode Empiris Ilmiah yang Digunakan di Barat
Metode ilmiah dan observasi empiris diwariskan ke Eropa oleh orang Muslim. Orang-orang Eropa mengadaptasi langkahnya tetapi bukan semangat yang ada dalam metode tersebut. Mereka menyalahgunakan metode tersebut dengan cara melakukan observasi empiris dan eksperimen sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan daripada penurunan wahyu. Metode ilmiah memiliki ciri-ciri sebagai berikut ini: (a) terbuka dan dapat dikoreksi: teori diabaikan jika tidak sesuai dengan fakta (b) pengulangan (c) konsistensi (d) pembuktian (e) ilmu pengetahuan empiris adalah pengetahuan yang bermanfaat.
Asal mula ilmu pengetahuan Barat dapat dilacak dari Mesir, Mesopotamia kuno, dan Yunani. Terdapat penurunan ilmu pengetahuan di zaman Romawi dan penindasan penyelidikan ilmiah di zaman kegelapan oleh Gereja Katolik. Selama masa pendudukan Eropa, orang Muslim melestarikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan Yunani dan menyusun sistem metodologi ilmiah empiris dan mewariskan pengetahuan mereka kepada orang Eropa sebelum masa Renaissance. Renaissance merupakan penemuan ulang dari ilmu pengetahuan Yunani. Renaissance dibarengi dengan munculnya rasionalisme, empirisme sekulerisme dan hilangnya kepercayaan di organisasi keagamaan  dalam bentuk Gereja Kristen. Hal ini membuat orang-orang Eropa menyalahgunakan metode ilmiah dengan mengklaim bahwa ini adalah sumber pengetahuan yang lebih valid daripada wahyu.

Penggunaan metode ilmiah sekarang ini mengandung beberapa keterbatasan yang tidak disadari oleh banyak dokter: terbatasnya observasi manusia, sumber pengetahuan, konteks moral positif, pemahaman menyeluruh tentang manusia, tiadanya sistem yang menyeluruh, dan parokial atau konteks Euro-sentris lokal.

Observasi manusia dan peginderaan memiliki keterbatasan dalam mengobservasi dan menafsirkan fenomena. Beberapa fenomena tidak dapat diobservasi dengan tepat. Asumsi apriori, bias, dan pengetahuan dari pengamat mempengaruhi observasi sekaligus kesimpulan yang diambil. Oleh karena itu, hanya bersandar pada obervasi empiris sebagai satu-satunya sumber pengetahuan adalah sesuatu yang salah.

Dua sumber pengetahuan dalam Islam antara lain wahy (wahyu) dan kaun (dunia empiris). Aql (akal) adalah sarana yang diberikan Tuhan kepada manusia agar dikaitkan dengan wahy dan kaun. Epistemologi Barat menyangkal wahy sebagai sebuah sumber pengetahuan. Epistemology Eropa pada dasarnya bersifat materialistis. Hal ini menyangkal agama atau anti-agama. Tidak menerima yang tidak terlihat (gaib).

Ilmu pengetahuan Eropa menyangkal moralitas sebagai salah satu faktor dalam pekerjaannya, bekerja dengan asumsi moral yang kosong. Tidak ada pengakuan terhadap moralitas mutlak. Ilmu ini berusaha untuk mengatasi masalah medis dan sosial dari hakikat moral atau spiritual dengan penggunaan teknologi.

Observasi empiris sendiri tidak cukup untuk mendeskripsikan pemahaman manusia dan masyarakatnya. Nilai, motivasi, sikap, kepercayaan sulit untuk diukur apalagi dipahami dari pembelajaran empiris. Perangkat observasi yang tersedia bagi ilmuwan, indera manusia yang mempunyai ketidakmampuan turunan untuk memahami keseluruhan hakikat manusia. Informasi dan panduan tambahan diperlukan dari Sang Pencipta, Yang Maha Tahu. Hanya Allah yang tahu dan memahami manusia sepenuhnya. Pengetahuan manusia yang hanya didapat dari wahyu, harus dipertimbangkan sejalan dengan observasi empiris untuk mencapai pemahaman yang valid. Metode ilmiah telah diarahkan ke kepentingan parokial dan Euro-sentris (politik, militer, dan ekonomi). Prioritas penelitian dan penerapan pengetahuan tidak didasarkan atas kriteria yang objektif dan universal. Epistemologi Barat dianggap universal. Dalam prakteknya hal ini bersifat parokial dan merefleksikan warisan reliji dan budaya Eropa. Klaim atas objektivitas oleh epistemologi Eropa tidaklah benar. Kebanyakan yang disebut dengan observasi empiris merefleksikan ke-semu-an dan kesombongan pandangan dunia Barat. Pengetahuan disekat-sekat tanpa pandangan holistik yang menyeluruh. Spesialisasi yang sempit mengarah kepada perkembangan yang cepat dalam penelitian ilmiah tetapi pada prakteknya hanya hal kecil yang terlihat bukan secara keseluruhan.

18.0 PROSES ISLAMISASI SAINS KEDOKTERAN
Islamisasi pengetahuan merupakan komponen yang paling penting dalam Pergerakan Islam kontemporer. Ini adalah usaha intelektual yang pro-aktif yang teliti secara akademis, objektif, dan memiliki konsekuensi praktis. Visi Islamisasi adalah pertumbuhan objektivitas yang mengalami percepatan, pengetahuan universal yang bermanfaat bagi semua makhluk hidup dan memungkinkan interaksi manusia yang harmonis dengan lingkungan fisik, sosial, dan agamanya. Misi Islamisasi adalah transformasi konseptual dari paradigma, metodologi, penggunaan disiplin ilmu. Tujuan yang spesifik dari Islamisasi antara lain: (a) mengurangi paham kebarat baratan dari paradigma dasar disiplin ilmu yang ada agar tidak menjadi Euro-sentris dan parokial, agar menjadi objektif dan universal (b) rekonstruksi paradigma disiplin ilmu dengan menggunakan panduan yang objektif (c) klasifikasi ulang disiplin ilmu (d) reformasi metodologi penelitian (e) membantu perkembangan penegetahuan melalui penelitian (f) menjamin penerapan pengetahuan yang tepat bagi kemaslahatan manusia dan keselarasan ekosistem.

Dalam rencana Islamisasi sebuah metodologi penelitian yang baru akan dikembangkan dengan menggunakan panduan Al Qur’an dalam: (a) objektivitas (b) ketidakbiasan (c) kebenaran (d) tauhid (e) pertimbangan atas hubungan sebab akibat (f) kegunaan dan (f) pengejaran kesmpurnaan.

Jangkauan Islamisasi antara lain adalah: paradigma, metodologi dan penggunaan ilmu pengetahuan, bukan isi yang dikandungnya. Isi berubah dengan sangat cepatnya sehingga sis-sia untuk mengislamisasikannya. Kita harus berada dalam tingkat produksi pengetahuan dan bukan konsumsi. Produksi berari penelitian. Bilamana metodologi penelitian diperbaharui, secara otomatis isinya juga akan diperbaharui.

Berikut adalah manifestasi dari kesalahpahaman Islamisasi yang harus diluruskan (a) “pemasukan” ayat Al-Al Qur’an dan hadits dalam makalah ilmiah (b) pencarian fakta ilmiah dalam Al Qur’an (c) pencarian fakata ilmiah bukti Al Qur’an (d) pencarian persamaan antara ide pengetahuan Islam dan Eropa (g) penambahan mata pelajaran agama Islam dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi di Eropa. Proses Islamisasi telah secara salah didefinisikan sebagai (i) Islamisasi ilmuwan atau peneliti (ii) penganjuran bahwa Islamisasi menyatakan bahwa yang ada dalam disilpin adalah non-Islami (iii) Islamisasi adalah pengetahuan theologi (iv) Islamisasi menghasilkan pengetahuan hanya bagi orang Muslim (v) Islamisasi adalah terbatasnya kemerdekaan untuk berfikir.

Wewenang utama dimana penelitian dan tulisan dapat dilaksanakan sebelum Islamisasi pengetahuan antara lain adalah: (a) klarifikasi hubungan dasar: wahyu dan akal, ilmu dan iman, ilmu dan amal, gaib dan syahadat (b) penggolongan disiplin (c) pengetahuan Al Qur’an dan filosofi (d) pengetahuan dan metodolgi Al Qur’an (e) pandangan Al Qur’an yang membangkitkan penelitian, penggunaan dan perkembangan pengetahuan (f) metodolgi Ushul tradisional: kekuatan, keterbatasan dan perkembangan lebih jauh yang diperlukan (g) hakikat metode ilmiah dan keterbatasan (h) pengembangan metodologi penelitian baru yang objektif dan menggunakan semua sumber dan sarana pengetahuan: wahyu, induksi dan deduksi logis dan observasi imperial (i) kebangkitan ijtihad dan penelitian (j) motivasi untuk unggul dalam ilmu pengetahuan (k) sikap yang tepat dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Institusi yang berkaitan dengan proses Islamisasi harus menyusun rencana strategis yang termasuk ke dalam fungsi berikut: (a) penguasaan pengetahuan dasar Islami: metodologi Usul,  ulum al Al Qur’an and ulum al hadits, interpretasi Al Qur’an dan sunnah dengan pemahaman dimensi tempat dan waktu yang berubah, mengetahui keterbatasan bacaan dan interpretasi (b) kritik Islami atas paradigma dasar ragam disiplin pengetahuan medis (c) tinjauan Islami atas teks bacaan dan bahan ajar yang ada (d) akumulasi penelitian yang diterbitkan yang relevan dengan Islamisasi (f) publikasi dan tes teks bacaan baru (g) penegakan program spesialisasi penelitian.
Individu yang mempunyai komitmen terhadap Islamisasi diharuskan melaksanakan tugas berikut: (a) komitmen atas Islamisasi (b) penguasaan bidang dengan baik (c) paham esensi minimal dari metodologi Ushul Al Qur’an dan As Sunnah (d) mengkritisi disiplin ilmu (e) penelitian yang berorientasi pada prioritas Islamisasi (f) penulisan dan penerbitan (g) jaringan (h) pengajaran kepada orang lain.

19.0 TANTANGAN UNTUK KESEMPURNAAN
Situasi kita sekarang persis seperti yang dideskripsikan oleh Imam Syafi’I lebih dari ribuan tahun yang lalu seperti yang dikutip oleh Jalaluddin al Suyuti dalam bukunya al Thibbun al Nabawi “setelah pengetahuan yang membedakan antara yang halal dan yang haram, saya menyadari bahwa tidak ada pengetahuan yang lebih mulia daripada ilmu pengobatan. Sesungguhnya orang-orang di dalam buku telah mengalahkan dan menyusul kita dalam ilmu setinggi ini. (36)

Kami merasa bahwa proses Islamisasi akan menyediakan stimulasi intelektual dan motivasi praktikal bagi kita untuk bekerja dengan giat dalam penelitian medis sehingga kita dapat menjadi pemimpin dalam bidang ini.


DAFTAR PUSTAKA
1.      ULLMAN M Islamic Surveys: Islamic Medicine Edinburgh University Press 1978 ( diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh Dr. Yusufu al Kilani dan diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan Kuwait 1401 AH/1981AD.
2.      ATHAR S (ed)  Islamic Perspective in Medicine: A Survey of Islamic Medicine: Achievements and Contemporary Issues . American Trust Publications 1993.
3.      SAID, Hakim Muhammad .Traditional Greco-Arabic and Modern Western Medicine : Conflict  or Symbiosis Hamdard Academy, Hamdard Foundation Karachi.
4.      Dr Ahmad El  Kadhi makalah yang dipresentasikan pada Konferensi Kedokteran Islam Internasional di Kuwait, 1980.      
5.      MADKUR al Khalid et al .(eds) Al Ru'ya al Islamiyyah li Baadhi al Mumaarasaat al Thibbuniyyah  International Organization  of Islamic Medicine Kuwait 1987 AD.
6.      AKKIBI AL WUFI Al Thibbun   Nafsiwa al Islam Disertasi Doktor Universitas Muhammad V Fakultas Kedokteran dan Farmasi Baidha 1957.
7.      NADVI, S.H.H.Medical Philosophy in Islam and the Contribution of Muslims  to the Advancement of Medical Science Academia Durban 1983.
8.      RAHMAN F. Health and Medicine in the Islamic Tradition :Change and Identity.  S’ Abdul Majeed, Kuala-Lumpur. 1993
9.      Dr Kasule, dalam makalah yang dipresentasikan dalam Konferensi Kedokteran Islam Pertama di Kuwait tahun 1980
10.  ALI ZEYD A et .al.  Natural Therapeutics of Medicine in Islam Foundation for Islamic Knowledge Lombard.IL 1987
11.  Dr Ahmad Sakr dan teman-temannya telah menulis beberapa pamflet dan selebaran yang diterbitkan oleh the Foundation for Islamic Knowledge, Lombard ILL. Over eating and Behavior, Pork: possible reasons for its prohibition, A Handbook of Muslim Foods,  A Manual in Food Shortening 1988, A Muslim Guide to Food Ingredients 1993; Alcohol in Beverages, Drugs, Foods and Vitamins; Dietary  Regulations and Habits of Muslims, Food and Nutrition Manual,  Islamic Dietary Laws and Practices, Natural Therapeutics of Medicine in Islam, Fasting in Islam 1975, Food and Overpopulation, Foods supplementation, Gelatine in Foods, Honey: a Food and Medicine, Islam and Alcohol, Shortening in Foods, and  World Health Organization of Muslim Nations
12.  KHAN GHULAM MUSTAFA. Personal Hygiene in Islam Ta-ha publishers, London, 1982.
13.  LEMU B.A Islam and Alcohol . Isamic Education Trust Minna, Nigeria.
14.  BADRI M Islam and Alcoholism; Islam, Alcoholism  and the Treatment of Muslim Alcoholics. American Trust Publications,  1976. 
15.  AL-BARR al Muhammad Ali al Khamr bayn al Thibbun wa al Fiqh Dar al-Sa’udiyah,Jiddah 1984              
16.  Islamic Medical Associations in Pakistan, Egypt, Sudan, USA & Canada, UK telah mengadakan konferensi dan seminra pada basis reguler. Forum internasional dalam bidang kedokteran telah diselenggarakan dibawah lindungan the Federation of International Medical Associations and the International Organization of Islamic Medicine bermarkas di Kuwait
17.  MINISTRY OF PUBLIC HEALTH KUWAIT. The Second  International  Islamic Medicine Conference Abstracts January 1980
18.  MINISTRY OF PUBLIC HEALTH KUWAIT. The Second  International  Islamic Medicine Conference Abstracts Jumada II 1402 AH/Maret -April 1982.
19.  NAJJAR al Emer Fi Tarikh al Thibbun  fi al Dawla al Islamiyyah Dar  al -Hidaya Nasr city , Cairo 1986  AD.
20.  2:196, 9:91, 24:61, 48:17,  2:184-5, 1:196, 4:43
21.  10:57, 2:10, 74:31, 24:48, 24:50, 22:53, 33:32, 17:52
22.  26:80
23.  17:82
24.  16:69
25.  2:168, 2:172-173, 6:118-189, 6:145-146, 16:114-118, 5:2, 5:4-6
26.  5:90
27.  AL-BARR  Muhammad  al Adwah  bayna al Thibbun wa Hadith al Mustafa Al Dar Saudia li al Nashr wa al Tawzee Jeddah 1981
28.  AL-BARR, M.A  Human Development as Revealed in the Al Qur’an and Hadith ; The Creation of Man between Medicine and the Al Qur’an . Saudi Publishing and Distributing House, Jeddah,  1992. 3rd or 2nd edition.
29.  The author read the following 2 publications at the Library of IIIT in Herndon VA. They however did not bear a year of publication. (a) ABDULLAH M.M al Thibbun al Al Qur’anibayna al Ghadha wa al Dawwa Muassasat Shabab  al  Jamia Alexandria  No Date (b) .ABDULLAH M.M  al Thibbun fi al Al Qur’an wa al Sunnah bayn Tashkhiis al Daa wa Marifat al Dawaa Dar Maktabat al Tarbiya Beirut.No Date
30.  HAQQ, Muhammad Bashir Al Thibbun al Nabawi wa al Thibbun  al Qadiim  Sharikat al-Tiba’ah al- Arabiya al-Sa’udiya, al-Riyadh,  1984.
31.  DEHLEVI A.S Prophetic Medical Science. Dini book Depot,Delhi, 1987.
32.  NAJATI, Muhammad Othman al Hadith al Nabawi wa Ilm al Nafs Dar al Shurooq Beirut and Cairo 1989 AD.
33.  BUKHARI, Sahih The Translation of the Meaning of Sahih Al Bukhari. By Dr. Muhammad Muhsin Khan. Islamic University, Al-Medina Al -Munawwara. Kazi Publications Lahore ( Pakistan ) 1979.
34.  IBN Al QAYYIM al Dimashqi al Jawziyyat  (d. 691AH) al Thibbun al Nabawi al Maktabat al Saudia ? Date
35.  IBN AL QAYYIM, Al Jawziyyat M. Natural Healing with the Medicine of the Prophet  Translated into English and amended by Muhammad al Akil . Pearl Publishing House Philadelphia 1993
36.  SUYUTI , Jalaluddin  Medicine of the Prophet. Taha Publishers London 1994
37.  NAJJAR A. Al Habba al Sauda bayna al Dini wa  al Ilm (Haqaiq ani al Habba  al Sauda fima Kutiba wa ma Yajib) Dar al Qibla li al Thqafat  al Islamiyyah Jedah 1992AD/1412AH.
38.  Dr Ahmad el Kadhi- PERSONAL COMMUNICATION
39.  Bukhari, Sahih. Vol 7, Page 395, Hadith 584. The Translation of the Meaning of Sahih Al Bukhari. By Dr. Muhammad Muhsin Khan. Islamic University, Al-Medina Al -Munawwara. Kazi Publications Lahore ( Pakistan ) 1979.
40.  FANJARI, Ahmad Shawq al Thibbun al Wiqai fi al Islam: al Hayi ‘at al Masriyyah al Amma li al Kitab Cairo 1991
41.  RAZI al Muhammad bin Zakariyyah (d.313 AH) Al Thibbun al Ruhani  Maktabat  al Nahda  al Masriyyah Cairo 1978
42.  SAYRAWAN, Sheikh Abd al Aziz Izz al al Istishifa min al almradhi al Nafsiyyaat wa al Jasadiyyah bi Adiyat al Al Qur’an  wa al hadith Dar al Afaq al Jadidah Beirut No Date
43.  2:164, 3:190, 10:5-6, 30:20-27, 39:59, 51:20-23
44.  SHAHINE YA Arab Contribution to Medicine Longman London  1971
45.  GRAZIANI JS Arabic Medicine in the Eleventh Century As Represented in the Works of Ibn Jazalah  Hamdard Academy, Hamdard Foundation Karachi 1980
46.  HUNAIN bin,Ishaka Tarikh  al AThibbun wa al Falasifah: Tabaqat al -attiba ‘wa-al-HukumA.  Muassasat al Risalah, Beirut 1985 AD/1405AH
47.  ANDALUSI al, Abi Dauda Sulaiman bin Hasan ibn Juljul  Tabaqat al Atibai  wa al Hukama  (written 377AH) MUassasat al Risalah, Beirut 1985 AD/1405 AH.
48.  SHAKUK Abu , Muhammad A'lam al Thibbun fi al Islam wa al Maradh wa al Ilaaj  Mussasat Dar al  Ulum Kuwait 1979.AD
49.  DIB, Abdul Adhim Abu al Qasim al Zaharwi : Awwal Tabiib Jarah fi al Alam  Dar al Ansar (Cairo) 1979
50.  HARMANEH SK, The Physician, Therapist, and Surgeon Ibn al Quff The Atlas Press Cairo 1974
51.  HUSAYN ,Muhammad Kamal (ed) al. Mujaz fi Tarikh al Thibbun wa al Saydaliyyah inda al Arab Organization for Education, Culture and Science Al-Qahirah 1960.
52.  SAID, Hakim Muhammad Al Thibbun al Islam : a Brief  Survey of the Development of Thibbun (Medicine ) During the Days of the Holy Prophet Mohammad (PBUH) and in the Islamic age.Hamdard Academy, Hamdard Foundation Karachi. No Date.
53.  UMMUL FAZAL and HAKIM MA RAZZACK A Handbook of Common Remedies in Unani Sistem of Medicine Central Council for Research in India Medicine and Homeopathy. Ministry of Health and Family Planning Government of India New Delhi 1976
54.  MUSA,Jalal Muhammad Abd al Hameed Manhj al Bahth al Ilmi inda al Arab  Dar al -Kitab al Lubnani Beirut 1982
55.  RAZZACK Hakim, Muhammad and Dr. (Mrs) Ummul Fazal Report of Arab (Unan) medicine and the state of Kuwait 1977AD/1397AH
56.  CHISHTI  GHULAM MOINUDDIN The Traditional Healer’s Hand Book: a Classic Guide to the Medicine of Avicenna. Healing arts press, Rochester,Vt:  1991.
57.  RAZZACK Hakim, Muhammad Principles and Practice of  Traditional  Sistem of  Medicine in India World Health Organization Geneva 1977
58.  Jam’iyyat al uluum al tibiyyah. Qadhaya Tibiyyat Musasirat fi Dhaw’i al Shariat al Islamiyat vol 1 Dar al bashir Amman 1995

59.  EBRAHIM A.F.M Abortion ,Birth Control ,and Surrogate Parenting: An Islamic Perspective American  Trust  Publication Indianapolis 1989.
60.  AL-BARR al Muhammad Ali Mushkilat al Ijhadh : Dirasat Tibiyyah Fiqhiyyat Al Dar Saudia li al Nushr wa al Tawzee Jeddah 1985
61.  The author has read the following unpublished documents of the ISLAMIC FIQH ACADEMY of the Organization of the Islamic Conference:(a) Fatwah Atfaal al Anabiib Makka 1406 AH, (b) Fatwa Bunuuk al haleeb Makka 1406 AH, (c) Hukm Intifah al Insaan bi A’adha  Jism Insaan akhar Hayyan aw Mayyitan  Makka 1980 AD Makka no Date, (e) Naql badh al ajhiza al  tanasuliyyah Makka 1406 (f) Tandhiim al Nasl wa Tahdiiduhu Makka no Date (g) Zira 'at Khalaya al Mukh wa  al Jihaz al Asabi  Makka (h) Fatwa Ajhizat al In' ash Makka 1406 AH.
62.  NAQIB, al Abd al Rahman Abd al Rahman Al I’daad al Tarbawi wa al Mihani li al Tibiib  Inda al Muslimeen .Dar  al Fikir al Arab Cairo. 1984.
63.  JALBI, Khalis  Al Thibbun Mihrab li al Imaan  (vol.1&2) Mussasat al Risalah 1978 AD
64.  BUCAILLE M is a French Physician  who wrote   The Bible, Science and the Al Qur’an    The Book has been Translated into many Languages and used in Dawa Programs.
65.  MOORE K &AA al Zindani The Developing Human : with Islamic Additions, Correlation Studies with Al Qur’an and sunnah (3rd edition ) WB Saunders Company Philadelphia 1993.


Note

[1] Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ummi Ashim Azzahra dan Widya Oktarina, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Semarang, cp : 081318681994, e-mail : yusibnuyassin@yahoo.com



Video


Writings of Professor Omar Hasan Kasule, Sr








This section provides thoughts in Islamic Epistemology and Curriculum Reform.
This section covers motivation of a medical student and development of personal skills: social, intellectual, professional behavior etc. It also equips the medical student with leadership skills that will be required of him as a future physician.




New Items

This section contains monthly e-newsletter presents the most recent developments in the fields of Islamic epistemology and educational curriculum reform summarized from books, journals, websites, interviews, and academic proceedings (conferences, seminars, and workshops). We also accept original contributions of less than 500 words...










Recent Uploads


This section provides inter-disciplinary books authored by renowned scholars.

This section contains different e-journals.